Pages

Kamis, 10 November 2011

Secara Substansi Kita Belum Merdeka: Refleksi HUT RI ke-66

Oleh: Zulkifli Abdullah


      Indonesia merupakan negara-bangsa yang dikaruniai pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke beserta segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Bentangan pulau tersebut membuat bangsa ini semakin indah dan kaya. Sebagai negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa dan posisi pulau yang strategis, Indonesia kemudian bayak dilirik, diintai, dan diminati oleh banyak orang untuk dimiliki seutuhnya. Sejak ratusan tahun silam, bangsa-bangsa asing telah berebutan hendak memiliki negeri kaya raya ini, terutama kekayaan alam yang melimpah yang jarang ditemukan keberadaannya di negeri lain. Kekayaan yang dimiliki menjadi ciri khas Indonesia dalam konteks geografis, sosiologis, dan budaya, yang terintegrasi secara utuh. Bentuk dan posisi pulau yang berbeda, terangkum menjadi satu kesatuan yang kuat, mencirikan bahwa negeri ini memiliki masyarakat yang tidak homogen, tetapi merupakan masyarakat heterogen dengan berbagai ragam budaya, ras, agama, bahkan corak pemikiran.
Perbedaan ini lantas terintegrasi dalam satu keyakinan kebhinekaan yang sifatnya akomodatif dalam satu kacamata bersama yang bernama: Pancasila.
Kurang lebih tiga setengah abad lamanya, bangsa kita mengalami penjajahan fisik, sehingga membuat masyarakat kita masih terasa berat bangkit dari sejarah traumatiknya, yang lantas membuat mayoritas masyarakat kita masih menampakkan karakter, sikap, dan perilaku inlander atau inferior. Apalagi, ditambah dengan serangan neokolonialisme yang menjebak penguasa negeri ini terperangkap dalam sangkar skenario asing (global), sehingga mereka pun rela mengorbankan kepentingan rakyatnya dengan membangun konspirasi silang, dimana keuntungan hanya dinikmati oleh investor asing dan penguasa.

  Kemerdekaan Siapa yang Punya?
Sejak dinyatakannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, secara de facto dan de jure bangsa ini dinyatakan merdeka dari penjajahan yang sangat panjang dan melelahkan itu. Dengan usaha dan semangat juang dari semua kalangan yang peduli dengan kemerdekaan, maka telah tibalah negeri ini sampai kepada gerbang kemerdekaan. Sudah menjadi tradisi masyarakat kita, ketika hendak merayakan hari yang bersejarah ini, berbagai hal disiapkan untuk memeriahkannya. Keberagaman semangat, motivasi, dan tindakan, yang diperlihatkan seluruh lapisan masyarakat dalam memperingati hari proklamasi, tentunya harus berbanding lurus dengan pemahaman akan makna akan kemerdekaan itu sendiri.
Manusia adalah mahluk yang dilahirkan di muka bumi secara merdeka, sehingga setiap orang berhak untuk melawan dan bergerak ketika kemerdekaannya diganggu ataupun dicerabut dari dirinya. Khalifah Umar Ibn Al-Khattab mengatakan, “Tidak satu pun orang yang berhak memperhamba siapapun karena semua manusia terlahir secara merdeka”. Kemerdekaan adalah hak dan milik setiap manusia yang sama-sama diberi fitrah untuk terlahir sebagai mahluk merdeka.
Kemerdekaan yang dialami Republik Indonesia tahun 1945 itu, tentunya harus ditarik lebih dalam lagi, sekaitan dengan pertanyaan: “Apakah dengan demikian rakyat Indonesia sudah seratus persen merdeka?” Lantas kenapa masih banyak kemiskinan? Kenapa pedagang kecil tidak diberikan tempat yang layak untuk mencari nafkah? Kenapa kemerdekaan itu seolah-olah hanya dimiliki oleh sebahagian kalangan saja?

Kemerdekaan semestinya merupakan hak dan milik bersama, sehingga pembangunan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain, senantiasa bertajuk kemaslahatan bersama, yang sesuai dengan kebutuhan bersama, tanpa diskriminasi antara satu dengan yang lain. Kemerdekaan harus berdiri di atas demokrasi sejati, dimana kedaulatan dipegang oleh rakayat secara keseluruhan, kebijakan diusung bukan kepentingan minoriti ataupun mayoriti, tetapi untuk mewujudkan kepentingan bersama dengan penuh hikmat dan kebijaksanaan.

Kemerdekaan atau Hegemoni
Bung Hatta pernah berkata, “Yang kita inginkan adalah rakyat yang berdaulat, bukan pemerintah yang berdaulat”. Pernyataan ini secara implisit telah menutup ruang rapat-rapat bagi individu atau sekelompok orang yang berhasrat untuk ingin menguasai atau mendominasi. Perwujudan kepentingan akan diakomodasi berdasarkan kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif masyarakat Indonesia secara mandiri. Harus dipahami bahwa kehendak untuk keluar dari cengkraman kolonialisme yang telah banyak merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah sebuah kehendak yang lahir dari nurani dan kesadaran bersama, bahwa kemerdekaan adalah hak semua umat manusia.
Selama 66 tahun proklamasi kemerdekaan RI, berbagai macam insiden, peristiwa, dan tragedi, datang silih berganti seiring dengan perjalanan pergantian rezim pemerintahan. Perjalanan kemerdekaan negeri ini tidaklah berjalan mulus. Kesejahteraan tidak serta-merta dirasakan semua lapisan masyarakat. Hari ini, pendidikan begitu mahal, biaya kesehatan hampir tak terjangkau, sulitnya mendaptkan lapangan kerja, PHK massal sering terjadi. Hal itu diperparah dengan kelakuan para pejabat negara merampok uang rakyat (korupsi).
Silih bergantinya rezim rupanya tidak juga dapat membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Masyarakat-banyak dalam kondisi yang memprihatinkan, dan tidak mampu berbuat apa-apa untuk merayakan kemerdekaannya. Mereka hanya pasrah menerima, walaupun dengan keresahan dan kesengsaraan. Kenapa bisa demikan? Mungkin inilah yang dimaksud dengan kuatnya hegemoni. Meminjam Antonio Gramsci, hegemoni itu berupa penguasa yang menjadi kelompok dominan dalam masyarakat, yang senantiasa mempertahankan dominasinya dengan memanfaatkan “kesadaran spontan” masyarakatnya.  Masyarakat hanya menjadi kelompok sub-ordinat yang lemah dalam segala hal. Kelompok dominan mempertahankan dominasinya melalui negosiasi dan konsensus politik dan ideologi.
Situasi ini bekerja dengan dua model: Pertama, kontrol dengan paksaan. Model ini diaktualisasikan dengan menyerang dan membungkam masyarakat secara fisik untuk menciptakan efek jera kepada mereka yang berani melawan atau menentang pemerintah; Kedua, kontrol dengan kesepakatan. Model ini teraktual jika masyarakat secara sukarela mengintegrasikan diri ke dalam segala bentuk kebijakan kekuasaan tanpa melakukan resistensi terhadap semua yang telah menjadi ketetapannya. Kedua model hegemoni di atas terasa telah diterapkan oleh pemerintah republik ini. Di era Orde Baru, digunakan model pertama untuk membungkam masyarakatnnya, dimana aparat keamanan dipakai untuk menakut-nakuti masyarakat yang hendak menentang kebijakan pemerintah.
Secara de facto dan de jure bangsa ini telah merdeka, namun secara substansi masyarakat kita masih jauh dari nilai-nilai kemerdekaan. HUT proklamasi kemerdekaan yang digelar tiap tahunnya harus lebih mengutamakan refleksi kolektif kita tentang kemerdekaan yang substantif ini, seraya menuntut pemerintah untuk memenuhinya.

0 comments:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites